Tampilkan postingan dengan label Salah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Salah. Tampilkan semua postingan
Ketika Salah Memahami Kitab Suci

Ketika Salah Memahami Kitab Suci

1297308854368907634Akhir-akhir ini sering terjadi masalah pelik yang menimpa neageri ini. Penistaan agama menjadi pemicu utamanya. Sebagian orang mengatasnamakan agama untuk menghancurkan dan melumat penganut agama lainnya. Krisnten dan Islam memang dua agama dan keyakinan yang berbeda, tetapi bukan berarti tidak bisa bekerjama sama di dalam membangun Negara Indonesia lebih maju dan sejahtera. Bertahun-tahun, Islam dan agama lain hidup berdampingan di Negeri ini, tetapi tidak ada konfik yang berarti, sebab masing-masing memahami agama dan keyakinan, serta mengamalkan ajaran kitab sucinya dalam kehidupan sehari-hari.

Hampir setiap agama, dengan ajaran kitab sucinya tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi sampai saling membunuh. Jadi, penyerangan terhadap kelompok Ahamdiyah, serta pembakaran Gereja itu merupakan penodaan agama. Tidak tepat, jika mengatasnamakan ajaran kitab suci, tetapi realitasnya jutru bertengtangan dengan nilai-nilai ajaran kitab suci itu sendiri. Di dalam al-Qur’an sudah jelas, bahwa setiap pemeluk agama itu harus saling menghormati dan bersikap toleransi. Q.S al-Kafirun (109:2-6) yang artinya:’’ Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Sikap inilah yang ditunjukkan oleh Nabi Saw ketika menghadapi masyarakatnya yang beragam keyakinan dan agama. Nabi Saw benar-benar mampu menjadi pemimpin bagi masyarakat Madinah yang majemuk. Nasrani, Yahudi, merupakan salah penduduk yang tinggal di Madinah. Nabi Saw tidak pernah memasksa mereka untuk memeluk agamanya. Namun, Nabi Saw juga tidak pernah menolak, jika mereka ingin memeluk islam sebagai agamanya. Nabi Saw juga tidak segan-segan menghukum pengikutnya jika melakukan pelanggaran agama (syariat).

Para Wali Songo, sebagai pemuka agama di tanah Jawa ternyata mampu memberikan teladan sejati bagi para agamawan dan tokoh masyarakat Indonesia. Dalam sebuah permainan yang dikenal ‘’ betengan’’. Dalam permainan betengan tersebut terbagi menjadi dua kelompok besar. Setiap kelompok memiliki rumah (beteng). Namun, jika seseorang keluar dari rumah (beteng), kelompok lain boleh mengejarnya untuk menjadi tawanan. Tetapi, jika sesorang telah berpegangan pada beteng (rumah), maka tidak satupun dari kelompok menyentuhnya.

Permainan ini merupakan sebuah israh terjemahan dari Q.S al-Kafirun (109:2-6). Jadi, jika seseorang jika sudah memiliki agama dan keyakinan, tidak perbolehkan bagi kelompok lain untuk mengajak atau memasksa mereka untuk memeluk agamanya. Sebab, hal ini merupakan sebuah pelanggaran keras. Namun, jika seseorang berkeliaran tanpa memiliki sebuah keyakinan dan agama, tidak masalah jika kelompok tertentu menyampaikan atau mengajaknya untuk memeluk ajaran tertentu.

Realitas yang terjadi di masyarakat Indonesia. Banyak sekali khutbah-khutbah jum’ah yang isinya provokasi. Lebih tepatnya menjadi provoktor di dalam masjid. Setelah keluar dari masjid, para jama’ah bukannya semakin sejuk hatinya, tetapi kepala semakin panas. Tidak salah memang, jika seorang muslim menyampaikan ajaran agamanya dimana saja berada, tetapi tidak etis juga seorang muslim dengan mengatasnamakan agama, lantas memprovokasi untuk membakar gereja dengan membabi buta.

Dan, lucunya ketika membakar gereja, mereka mengucapkan ‘’ Allahu Akbar…..! lantas, yang berada dibelakanya menjawab:’’ Samia Allahu Liman Hamidah…..!Seperti sholat saja nih….!

Terlepas dari kejadian-kejadian di atas. Hikmah yang perlu diambil ialah, bagaimana seorang Kristen itu tidak mengajak orang yang telah beragama memasuki agamanya. Ajakan itu bisa dalam bentuk; pembagian brosur, pamphlet, spanduk, buku saku terhadap orang-orang yang sudah memiliki agama dan keyakinan. Sebab, hal ini pasti akan menimbulkan masalah baru.

Ini samapaikan, memang telah menjadi sebuah rahasia umum. Seorang wanita masuk dikampung (desa), dengan membawa CD dan membagi-bagikan kepada masyarakat Muslim. VCD itu menceritakan seputar Yesus, dengan terjemahan bahsa Jawa. Di sisi lain, pernah ada seorang tamu secara terang-terangan memberikan undangan untuk bergabung dengan agama Kristen. Padahal, mereka tahu bahwa yang diajak itu beragama islam.

Yang demikian itu masih sering ditemukan. Oleh karena itu, baik muslim atau Kristen hendaknya menjunjung nilai-nila ajaran kitab sucinya. Jangan sampai melakukan sebuah gerakan atau perbuatan tercela, dengan mengatasnamakan ajaran kitab sucinya masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah harus terus menerus memberikan penyuluhan ke-desa-desa seputar kerukunan umar beragama, serta makna toleransi umat beragama. Tentunnya, ini melibatkan tokoh-tokoh masyarakat (kyai), yang benar-benar memahami kandugan kitab sucinya, bukan malah menjadi provokator ditenggah masyarakat.

Di sisi lain, memang masyarakat Indonesia yang majemuk dengan beragam keyakinan dan agama, serta sekte-sekte sangat rawan. Keberagaman keyakinan itu ternyata sangat menarik untuk diangkat menjadi isu politik. Isu ‘’Ahmadiyah’’, ternyata layak dijual untuk urusan politik. Bukan tidak mungkin, Pembakaran Gereja serta Penyerangan terhadap kelopok Ahmadiyah ada latar belakang politik. Namun, hal itu perlu dikaji lebih mendetail, untuk memastikan kebenaranya. Kasus Ninja, kerusuhan Bondowoso, juga mengatasnamakan agama, tetapi ternyata unsure politiknya lebih menonjol.

Untuk menghindari agar kerusahan-kerusuhan tidak terjadi dan menular keberbagai daerah. Pemerintah harus sigab setiap saat, para tokoh agama dan masyarakat juga ikut serta memberikan pencerahan-pencerahan yang menyejukkan. Para elit politik, hendaknya tidak mebuat statement-statement yang menyulut kemarahan masyarakat. Tidak etis kiranya, menyalahkan salah satu kelompok, sebab pernyataan itu akan menimbulkan masalah baru. Selanjtnya, kelompok yang bertikai agar supaya mengkaji kembali ajaran kitab sucinya, jangan sampai salah di dalam memahami kitab sucinya.


View the original article here

Taufik Basari: DPR Salah Alamat

Taufik Basari: DPR Salah Alamat

KOMPAS/Yuniadhi Agung Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto (kedua dari kiri) dan Chandra M Hamzah, didampingi oleh kuasa hukum mereka, Alexander Lay (kiri) dan Taufik Basari (kanan), menggelar konferensi pers di Kantor KPK, Rabu (14/7/2010), menyikapi memori peninjauan kembali praperadilan pencabutan SKPP Bibit-Chandra yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pengacara dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, Taufik Basari, mempertanyakan keputusan Komisi III DPR yang menolak kehadiran Bibit-Chandra dalam setiap rapat DPR dengan alasan keduanya masih berstatus tersangka. Menurut Taufik, penolakan itu salah alamat.

"Jika DPR mempersoalkan deponeering Bibit-Chandra dan soal statusnya, menurut saya salah alamat dan tidak tepat. Kalau mau protes, ya ke Jaksa Agung yang menerbitkan deponeering," kata Taufik yang masuk dalam Tim Pembela Bibit-chandra, Selasa (1/2/2011), kepada Kompas.com.

Ia melanjutkan, Bibit-Chandra tak punya posisi dan kuasa untuk menentukan akhir dari kasusnya. "Semua kan tergantung Kejaksaan Agung. Kita juga tidak minta deponeering," ujarnya.

Penafsiran masih melekatnya status tersangka pada Bibit-Chandra pasca-deponeering, juga dinilai tak berdasar. Ketentuan UU Kejaksaan Agung, menurutnya, tidak mengatur bahwa deponeering tidak melepaskan status tersangka kepada mereka yang menerima putusan tersebut.

"Kasusnya kan sudah tidak ada. Maka, status (tersangka) itu tidak ada lagi. Ketika ada penafsiran lain, artinya kan melihat dari sudut pandang yang berbeda," kata Taufik.

Motif Politis?

Keputusan Komisi III DPR yang melarang kehadiran Bibit-Chandra di Gedung Dewan, justru dianggap Taufik bermuatan politis. Ia mensinyalir ada motif politis yang ingin mendelegitimasi KPK.

"Karena KPK saat ini sedang memproses "Miranda Gate". Jika KPK terdelegitimasi, kemudian langkah KPK selanjutnya seolah tidak dapat dukungan politik. Ini yang diharapkan DPR. Seharusnya tidak boleh seperti itu. DPR tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan politiknya sendiri," katanya.

Bagaimana KPK seharusnya bersikap? "Ya kita ingin KPK bisa memegang teguh prinsip. Jika ada perlakuan seperti itu, jangan kemudian tunduk begitu saja. Karena akan jadi preseden buruk," ujar Taufik.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

View the original article here