Tampilkan postingan dengan label Selalu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Selalu. Tampilkan semua postingan
Masinis Selalu Jadi Kambing Hitam

Masinis Selalu Jadi Kambing Hitam

JAKARTA, KOMPAS.com — Bekerja sebagai seorang masinis bukanlah perkara mudah. Mengangkut ribuan orang dalam sekali jalan dan menempuh waktu berjam-jam perlu ketelitian luar biasa. Tanggung jawabnya pun sangat besar. Namun, masinis kini sering kali menjadi kambing hitam dalam setiap tragedi kecelakaan kereta api. Human error yang tak bisa dihindarkan selalu menjadi alasan mengantarkan masinis ke bui.

"Selama ini yang selalu disoroti dan dicari adalah siapa yang salah. Paling mudah dan selalu jadi korbannya adalah masinis," kata anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Saleh Purwanto, dalam pernyataan sikap MTI yang disampaikan di kantor MTI, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Jumat (4/2/2011).

Bahkan, kata Saleh, undang-undang (UU) pun seakan menjustifikasi seluruh kesalahan atau tragedi kecelakaan sebagai tanggung jawab masinis. Dalam UU Perkeretaapian, masinis diancam hukuman penjara 1 tahun apabila melanggar sinyal, 2 tahun kalau ada yang terluka, dan 5 tahun kalau ada yang meninggal. " Padahal, kejadian kecelakaan kereta api tidak melulu karena faktor kesalahan masinis," ujarnya.

Saleh mengungkapkan, kesalahan bisa saja terjadi pada petugas pintu pelintasan, petugas stasiun, ataupun petugas operator pusat. Proses penelusuran sebab kecelakaan oleh polisi, menurut Saleh, juga cenderung tidak investigatif, tetapi lebih pada interogatif yang menyudutkan masinis sehingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan masuk bui. "Padahal dalam catatan kami, masinis-masinis yang mengalami kecelakaan itu termasuk masinis terbaik. Mereka sering mendapat penghargaan, seperti dari PT KAI," ucap Saleh.

Sistem penelusuran kecelakaan ini, kata Saleh, berbeda dengan yang berlaku dalam UU Penerbangan, yang mengharuskan adanya majelis profesi tempat pilot disidangkan untuk mengetahui ada atau tidaknya unsur kesengajaan dalam kecelakaan tersebut. Mereka tidak langsung dipidanakan. "Sistem interogatif tidak akan menyelesaikan masalah karena penyebab utama kecelakaan tidak terkuak," ucap Saleh.

Saleh menuturkan, dalam penerbangan, apabila ada ancaman pesawat akan bertabrakan, sistem mesin di dalam pesawat secara otomatis akan mengubah arahnya ke atas atau ke bawah. Sementara di kereta api (KA), sistem teknologi seperti itu tidak ada sehingga tabrakan sulit dihindarkan. Dalam sistem perkeretaapian, masinis menjadi palang pintu terakhir keselamatan.

Ketua MTI Djoko Setijowarno melihat, mulai proses perekrutan hingga kondisi masinis saat menjalankan KA juga kalah jauh dari sistem penerbangan. Dalam penerbangan, untuk menjadi seorang pilot, seseorang harus belajar dahulu di sebuah sekolah khusus pilot. "Sementara untuk masinis, mereka jadi pegawai PT KAI baru nanti dilihat dan ditentukan siapa yang jadi masinis," kata Djoko.

Masinis saat menjalankan KA juga sering kali dalam kondisi tidak fit. Hal tersebut lantaran letak tempat tinggalnya dengan stasiun terlampau jauh sehingga masinis kelelahan, belum lagi rute yang jauh dan waktu tempuh yang lama. Ini berbeda dengan pilot atau pramugari yang mendapat fasilitas antar-jemput dari perusahaan. "Dengan nasib masinis seperti itu, mereka lagi-lagi jadi kambing hitam," ujar Djoko.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

View the original article here